Geneva, 6 Juli 2015. Indonesia Focal Point Untuk Treaty Binding dalam Bisnis & HAM, gabungan beberapa organisasi masyarakat sipil Indonesia, akan membawa kasus pelanggaran HAM di MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) dalam sidang sesi pertama Kelompok Kerja bisnis dan HAM yang mendorong sebuah treaty untuk mengontrol aktivitas perusahaan transnasional. Sidang ini akan dilaksanakan sejak 6-10 Juli 2015 di PBB, Geneva.
Sidang Kelompok Kerja Bisnis & HAM PBB ini merupakan amanat Resolusi
Dewan HAM PBB No.26/9 yang meminta agar UNHRC membentuk sebuah kelompok kerja untuk merumuskan sebuah
legally binding treaty dalam Bisnis &
HAM untuk mengontrol aktivitas Perusahaan Transnasional yang selama ini
dianggap melakukan pelanggaran HAM tanpa adanya mekanisme remedi yang
efektif. Resolusi 26/9 ini didorong oleh Ekuador
dan telah didukung paling tidak oleh 20 negara, termasuk Indonesia.
Rachmi Hertanti, Koordinator Indonesia Focal Point dari
Jenewa menjelaskan, bahwa Resolusi 26/9
muncul akibat kekecewaan atas lemahnya penegakan perlindungan HAM akibat
Penerapan Prinsip-prinsip Bisnis dan HAM (Ruggie Principles) yang
sifatnya hanya sukarela
(Voluntary) sehingga tidak memberikan kepastian hukum dan sanksi yang
tegas bagi yang tidak menjalankan, serta juga tidak memuat mekanisme
remedi yang efektif bagi masyarakat korban. “Resolusi ini sudah sangat
tepat. Kita butuh instrumen hukum yang mengikat
untuk memastikan negara menjalankan kewajibannya dalam menegakan
perlindungan HAM di Indonesia”, tegas Rachmi.
“Selama
ini Negara malah turut serta memperlemah perlindungan HAM di Indonesia
melalui penyusunan peraturan perundang-undangan yang lebih banyak
melindungi kepentingan investor ketimbang masyarakat atas nama
pembangunan
ekonomi. Apalagi dengan semakin massifnya penandatangani free trade
agreement dan bilateral investment treaty, peran negara untuk menyusun
peraturan perundang-undangan yang melindungi HAM menjadi hilang”,
tambahnya.
Rachmi
pun menambahkan, bahwa agenda pembangunan ekonomi Indonesia hari ini
tidak pernah mempertimbangkan kepentingan masyarakat bahkan tidak
memperdulikan perlindungan HAM. Contoh konkritnya adalah terkait dengan
pembangunan Food Estate di Merauke pada zaman SBY dan kembali
dikukuhkan oleh Presiden Jokowi. MIFEE akan menjadi cermin bagi
pembangunan Food Estate lainnya di Kalimantan.
Wensislaus
Fatubun, aktivis hak asasi manusia dan pembuat film dari Papua turut menjelaskan, bahwa apa yang terjadi di MIFEE harus
tetap menjadi tanggung jawab Pemerintah Indonesia untuk melindungi
HAM masyarakat adat Papua yang saat ini telah menjadi korban dari
pembangunan proyek food estate oleh korporasi.
“Program
MIFEE hanya agenda korporasi untuk melakukan perluasan bisnis di sektor
pangan dan energi skala luas. Pemerintah atas nama pembangunan ekonomi
telah memproduksi kebijakan dan peraturan untuk mendukung serta
memfasilitasi bisnis korporasi yang telah melakukan perampasan lahan
masyarakat adat berskala luas”, tegas Wensislaus.
Wensislaus
menambahkan, bahwa selama MIFEE berjalan telah banyak kasus pelanggaran
HAM yang melibatkan korporasi trans nasional, seperti penggusuran dan
pembongkaran tempat penting masyarakat adat, Penyiksaan dan
kekerasan terhadap masyarakat adat, pencemaran lingkungan, dan
diskriminasi tenaga kerja.
“Bahkan aksi kekerasan terus terjadi di Papua. Bahkan terjadi peningkatan atas penangkapan
semena-mena dan aksi intimidasi yang
dilakukan oleh aparat keamanan sejak April-Juli 2015, sedikitnya telah
mencapai 531 orang. Kematian karena kasus busung lapar pun kerap terjadi
di Papua yang kaya akan sumber daya alam. Sepanjang
tahun 2014 sebanyak 6 anak yang meninggal karena busung lapar di
Papua”, tambah Wensislaus.
Irhas
Ahmady, aktivis WALHI yang juga ikut dalam sidang tersebut menambahkan,
bahwa pembahasan Resolusi ini harus mendorong pertanggungjawaban
perusahaan transnasional yang selama ini mencemari lingkungan, khususnya
terkait dengan investasi di sektor industri ekstraktif.
“Perumusan
legally binding treaty on business and
human rights ini harus mampu mendorong tanggung jawab negara untuk terus
melindungi HAM, khususnya terhadap pencemaran lingkungan yang semakin
mendorong rendahnya kualitas hidup manusia Indonesia”,
jelas Irhas.
No comments:
Post a Comment