Thursday, July 2, 2015

Menganyam Identitas Papua: Catatan historis Melanesia-Mikronesia



Baru pada tahun 1844, Propaganda Fide mengubah nama Vikariat itu menjadi Vikariat Melanesia dan Mikronesia (Rujukan Ralph Wiltgen SVD, The Founding of the Romn Catholic Church in Oceania, 1825-1850 (Roma: 1979), pp. 236-237).
Ini sebagai masukan historis-antropologis  untuk ingatan kolektif Papua sebagai satu ikatan.



Sudah sejak dahulu kala, para antropolog dan kaum etnografi merintis studi race (ras fisik) dengan memasukkan baik Maluku dan Papua, bahkan Nusa Tenggara dalam klasifikasi ras Negrito-Veddoid dan Melanesian-Australoid (lihat studi Parsudi Suparlan, "Ethnic Groups of Indonesia" dalam The Indonesian Quarterly, Vol. VII, No. 2, April 1979, p. 56 -- Studi Suparlan merujuk pada studi-studi antropologi Eropa yang antara lain pada studi R. Kennedy: 1937).

Dari studi-studi lama itu, para penguasa koloni di kawasan Pasifik, seperti Belanda (di Hindia), Jerman dan Inggris (di New Guinea hingga pulau-pulau Solomon), Spanyol di Pulau-pulau Carolina, telah menyepakati, bahwa Ambon dari derajat 127 dan seluruh Papua Nieuw Guinea (Barat milik Belanda, dan Timur milik Inggris & Jerman) sampai pulau-pulau Solomon dalam derajat 152 adalah satu wilayah yang termasuk dalam istilah Asia Tenggara, dengan nama kawasan: Teritori Melanesia dan Mikronesia. 


Batas itu telah disepakati oleh para pemegang koloni di Pasifik sejak tahun 1842, dan disahkan Belanda yang mengklaim Papua Nieuw Guinea bagian Barat sebagai miliknya. Dan Congregatio de Propaganda Fide di Vatikan, lalu mengikuti peta tahun 1842 itu dengan menyebut Vikarat Apostolik Batavia berada di Hindia Belanda, dan wilayah Ambon dan seluruh Papua Nieuw Guinea dan pulau sekitar disebut Vatikan sebagai "Vikariat New Guinea dan Pulau-pulau Sekitar". 


Tarekat MSC lalu datang membuka Misi di Pulau Thursday di wilayah Selat Torres antara Australia dan New Guinea, dengan wilayah kerja kemudian mencakup Papua Timur (milik Inggris). Pater Andre Navarre MSC menjadi Vikaris Apostolik pertama untuk wilayah Vikariat itu. Baru tahun 1885, pulau-pulau Carolina yg menjadi koloni Spanyol dimasukkan pada Diosis Cebu dari Filipina oleh Paus Leo XIII. Tarekat MSC kelak mengambil wilayah Papua Nieuw Guinea Barat (Irian Barat) termasuk seluruh Maluku dari tangan kaum Yesuit sebagai Prefektur Apostolik Nederlandsch Nieuw Guinea (Papua Belanda) sejak 15 Desember 1902 (berlaku resmi baru 22 Desember 1902). Sejak itu Prefektu baru itu (di bawah Pater Mathias Neyens MSC) terpisah dari Vikariat Apostolik Batavia. Rujukan P. G. H. Schreurs MSC dalam Return to Xavier’s Islands, the Restoration of the Catholic Mission in the Moluccas, 1886-1960 (Missiehuis Tilburg, Nederland: 1992), hlm. 99-102 -- terjemahan dari karya asli Terug in het Erfgoed van Fransiskus Xaverius – Het herstel van de Katholieke Missie in Maluku.

Dengan klaim Belanda bahwa Papua menjadi bagian dari Hindia Belanda, dan kemudian Congregatio de Propaganda Fide menjadikan Papua sebagai dari Prefektur Apostolik Papua Belanda terlepas dari Vikariat Melanesia dan Mikronesia, maka hendaknya kaum Papua tidak terkeco dengan batas-batas geografis politis saja. Artinya Generasi muda Papua harus terus menyadari bahwa dalam pengertian ras dan racial heritage, Papua Barat secara hukum teritori internasional adalah bagian ras Melanesia dan Mikronesia. Dalam hukum teritori politik, Papua memang bagian Indonesia, tapi dalam hukum teritori rasial, etnografis dan antropologis, Papua termasuk Melanesia and Micronesia. That's it. As simple as that.





No comments:

Post a Comment